FILSAFAT MORAL DAN NEGARA Telaah terhadap Filsafat Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Miskawaih

Kamis, 12 Desember 2013
Dalam wacana filsafat, ditemukan pandangan tentang etika dan negara yang sangat menarik untuk diselami lebih dalam lagi. Beberapa pemikir muslim turut menyuarakan pandangannya. Ketika membaca pemikiran mereka, terbetik dalam benak pembaca akan kedalaman pengetahuan para filsuf muslim tersebut tentang filsafat. Paradigma seperti itu tidaklah berlebihan setelah melihat sistematika dan keluasan bahasan yang mereka wariskan pada generasi selanjutnya dan dunia pada umumnya. Akan tetapi, kekaguman itu akan 'terhenti' sejenak ketika menemukan bahwa landasan pemikiran mereka banyak mengadopsi dari pemikiran filsuf-filsuf barat, terutama filsuf Yunani kuno.
Berkaitan dengan itu, setidaknya ada dua cara para filsuf muslim dalam menerima filsafat Yunani, yaitu: Pertama, mengulas pemikiran-pemikiran filsafat Yunani kemudian melenyapkan kejanggalannya dan mempertemukan pemikiran filsafat yang kontroversi. Kedua, mengadakan keterpaduan (taufiq) antara pihak filsafat dengan agama.
Dalam makalah sederhana ini, penulis hanya menjelaskan sekilas tentang filsafat etika dan negara yang kemudian dilanjutkan dengan pemaparan tentang pemikiran beberapa filsuf muslim yang dibatasi hanya pada Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Miskawaih.[1]
II. Filsafat Moral
Istilah moral atau moralitas berasal dari kata bahasa Latin mos (tunggal), mores (jamak) dan kata sifat moralis. Bentuk jamak mores berarti: kebiasaan, kelakuan, kesusilaan. Kata sifat moralis berarti susila. Filsafat moral merupakan filsafat praktis, yang mempelajari perbuatan manusia sebagai manusia dari segi baik dan buruknya ditinjau dari segi hubungannya dengan tujuan hidup manusia yang terakhir.[2] Dengan demikian, moral merupakan objek filsafat moral. Istilah lain yang serupa adalah etika (ethiek dalam bahasa Belanda dan ethics dalam bahasa Inggris).[3] Istilah etika ini berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan dan kelakuan. Olehnya itu, ketika membahas tentang moral atau ethos seseorang atau sekelompok orang, maka yang dimaksud adalah bukan hanya apa yang biasa dilakukan orang atau sekelompok orang itu, melainkan juga apa yang menjadi pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan apa yang tidak patut untuk dilakukan.[4] Dengan demikian, kedua kata tersebut menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan atau praktek sekelompok manusia.
Perbuatan-perbuatan atau perilaku orang pada umumnya merupakan manifestasi keyakinan atau pandangan hidup orang. Dalam kajian filsafat moral atau etika, terdapat perbedaan antara:
a. Perbuatan insani (actus humanus), yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang dengan sadar, dengan tahu betul apa yang dilakukan, dengan kesengajaan kehendaknya. Perbuatan-perbuatan semacam ini merupakan formal objek filsafat moral atau etika.
b. Perbuatan manusia (actus hominis), yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak dengan penuh kesadaran atau kesengajaan. Seperti perbuatan yang terjadi saat tidur, mabuk, atau pingsan. Perbuatan-perbuatan semacam ini dilakukan di luar kontrol manusia sebagai subjek pelaku. Olehnya itu, perbuatan-perbuatan seperti itu berada di luar lingkup perhatian filsafat moral atau etika, meskipun secara material memiliki arti dalam studi ini.
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sadar pasti mempunyai tujuan. Baik yang hidup maupun yang tidak hidup semuanya memiliki tujuan, yaitu untuk mencapai pengembangannya yang tertinggi sesuai dengan kodratnya masing-masing. Hidup manusia merupakan suatu rangkaian perbuatan-perbuatan atau suatu rentetan jalan, upaya dan tujuan yang tidak mungkin tanpa batas. Thus, pastilah ada suatu tujuan yang menjadi tujuan terakhir (selanjutnya baca: akhir). Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara tujuan akhir subjektif dan tujuan akhir objektif, yaitu:
a. Tujuan akhir objektif adalah sama untuk semua, yaitu: Tuhan, sang pencipta seluruh alam semesta.
b. Tujuan akhir subjektif adalah penyempurnaan manusia sebagai manusia, penyempurnaan binatang sebagai binatang, penyempurnaan tanaman sebagai tanaman; artinya terdapat perbedaan sesuai kodratnya. Tujuan akhir subjektif setiap realitas, setiap ciptaan Tuhan adalah penyempurnaan setiap realitas sebagai cerminan kesempurnaan Tuhan sendiri menurut kodratnya masing-masing.[5]
Bagi manusia, tujuan akhir subjektifnya adalah keadaan dimana manusia memperoleh kepuasan yang sempurna karena manusia memiliki secara kekal kebaikan yang tertinggi. Apabila tujuan akhir tersebut telah tercapai, maka manusia akan merasa puas sehingga tidak menginginkan hal-hal lainnya. Tujuan akhir inilah yang menjadi patokan atau landasan bagi tujuan-tujuan lainnya. Adapun tujuan akhir tersebut adalah kebahagiaan yang sempurna.
Sebenarnya, sejak zaman Yunani kuno, Aristoteles telah menampilkan gagasan tersebut bahwa dalam lubuk hati manusia terdapat keinginan kodrati yang tidak dapat dihilangkan untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, yaitu eudaemonie.[6]
Dalam kaitan ini, Al-Kindi[7] berpendapat bahwa filsafat mesti memperdalam pengetahuan manusia tentang diri. Dengan demikian, seorang filsuf wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri, melainkan untuk hidup bahagia. Pada dasarnya, tabiat manusia adalah baik, tetapi ia senantiasa digoda oleh nafsu. Konflik antara keduanya dihapuskan oleh pengetahuan. Manusia harus menghindari keserakahan. Dalam perbincangan moral, Al-Kindi lebih mengutamakan kaedah Stoa dan Sokrates.[8]
Kemiripan kaedah Sokrates dengan Al-Kindi seputar masalah moral ini dapat dilihat pada pandangan Sokrates yang menyebutkan bahwa budi adalah tahu. Keduanya bersangkut-paut. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Orang yang mengetahui hukum mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu. Tak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena itu, budi berdasar atas pengetahuan dan dengan sendirinya dapat dipelajari.
Sama dengan kaum Epikuros, kaum Stoa membagi filsafat ke dalam tiga bagian, yaitu: logika, fisika, dan etika. Logika dan fisika umumnya digunakan sebagai dasar etik. Adapun maksud dari etiknya ialah memberi petunjuk tentang sikap sopan santun dalam penghidupan. Menurut mereka, tujuan yang terutama dari segala filsafat adalah menyempurnakan moral manusia.[9] Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa kemerdekaan moril seseorang merupakan dasar segala etiknya. Segala yang terjadi pastilah ada sebabnya (hukum kausalitas).[10] Tindakan manusia akan berbeda dengan binatang karena kemampuannya untuk menimbang secara rasionil dan tepat. Untuk tujuan itu, pengetahuan dan kesadaran merupakan suatu yang sangat esensial bagi manusia.
Pemikir selanjutnya adalah Al-Farabi yang dikenal sebagai The Second Teacher (Mu'allim Tsani). Filsuf yang telah berhasil mengkompromikan kontradiksi antara pemikiran Plato dengan Aristoteles lewat risalahnya Al-Jam'u baina Ra'yay al-Hakimaini Aflathun wa Aristhu ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Plato (Republic) dan Aristoteles (Nicomachean Ethics) tentang kebaikan manusia (human good). Hanya saja, ia memiliki pandangan yang berbeda tentang kebaikan manusia ini dalam masalah-masalah tertentu.[11] Secara umum, terdapat dua pandangan tentang kebahagiaan manusia yang terlihat berbeda, yaitu: Pertama, yang bersifat teoretis yang dipaparkan dalam karyanya al-Madinah al-Fadhilah (On the Perfect State) dan al-Siyasah al-Madaniyyah (The Political Regime). Kedua, yang mengadopsi bentuk pemikiran Plato dalam bidang filsafat dan politik yang termaktub dalam Tahshil al-Sa'adah (The Attainment of Happiness). Pandangan pertama menegaskan bahwa kebahagiaan manusia dapat diidentifikasi melalui aktifitas yang dilakukan oleh jiwa yang terpisah dari badan.[12] Aktifitas demikian dalam aspeknya yang tertinggi akan membentuk hubungan (ittishal) dengan akal aktif.
Selanjutnya, Al-Farabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yaitu: Pertama, keutamaan teoretis, yakni prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan kontemplasi, penelitian, dan melalui proses belajar-mengajar. Kedua, keutamaan pemikiran, yaitu yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan, seperti kemampuan membuat aturan-aturan. Olehnya itu, keutamaan jenis ini disebut juga sebagai "keutamaan pemikiran budaya" (fadha'il fikriyyah madaniyyah). Ketiga, keutamaan akhlak yang bertujuan untuk mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada di bawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran. Kedua jenis keutamaan tersebut terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak manusia. Keempat, keutamaan amaliah yang diperoleh dengan dua cara, yaitu: pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.[13]
Selain keutamaan di atas, Al-Farabi menyarankan agar bertindak tidak berlebihan yang dapat merusak jiwa dan fisik, atau mengambil posisi tengah-tengah. Hal itu dapat ditentukan dengan memperhatikan zaman, tempat, dan orang yang melakukan hal tersebut, serta tujuan yang dicari, cara yang digunakan dan kerja yang memenuhi semua syarat tersebut. Berani, sebagai contoh, merupakan sifat terpuji yang terletak di antara dua sifat tercela, membabi buta (tahawwur) dan penakut (jubn). Kemurahan (al-karam) terletak antara dua sifat tercela, kikir dan boros (tabdzir). Memelihara kehormatan diri ('iffah) terletak antara dua sifat tercela, keberandalan (khala'ah) dan tidak ada rasa kenikmatan.
Pada kesempatan yang lain, Ibnu Miskawaih[14] memaknai moral itu dengan suatu sikap mental (halun li an-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan.[15] Filsuf kelahiran kota Ray (Iran) itu berpendapat bahwa sikap mental ini terbagi ke dalam dua macam, yaitu: Satu, yang berasal dari watak. Dua, hasil dari kebiasaan dan latihan. Mengenai moral yang terpuji, ia menandaskan bahwa kebanyakan hal tersebut dapat dijumpai dari kebiasaan dan latihan. Sangat jarang ditemukan sifat terpuji sebagai manifestasi dari watak. Berangkat dari paradigma tersebut, ia menegaskan bahwa akhlak yang berasal dari watak dapat saja berubah melalui pendidikan. Pendapat ini sangat bertentangan dengan pandangan pemikir Yunani yang menyebutkan sebaliknya.
Dalam kaitannya dengan ajaran agama, pandangan filsuf yang sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah Dinasti Buwaihi ini sejalan dengan penyataan Al-Qur'an dan Hadits yang menyebutkan bahwa kedatangan Nabi SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal tersebut terlihat jelas bahwa tujuan melaksanakan ibadah adalah untuk membentuk watak yang notabene akan memperbaiki moral pribadi atau masyarakat muslim. Sehubungan dengan itu, Ibnu Miskawaih memaknai kata al-insan (manusia) berasal dari kata al-uns yang berarti jinak. Pendapat ini berbeda dengan pendapat pada umumnya yang menyebutkan bahwa kata al-insan berasal dari kata nisyan yang berarti lupa. Untuk menguatkan pendapatnya itu, Ibnu Miskawaih mencontohkan bahwa ibadah puasa bertujuan untuk mengendalikan hawa nafsu.[16]
Dalam perbincangan moral, Ibnu Miskawaih sangat menandaskan pandangannya dengan jiwa. Menurutnya, jiwa itu memiliki tiga daya, yaitu: daya berfikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Dari ketiga daya tersebut lahirlah sifat kebajikan, yaitu hikmah,[17] keberanian,[18] dan kesederhanaan.[19] Bila ketiga sifat kebajikan tersebut berjalan serasi, maka akan lahirlah sifat kebajikan keempat, yakni adil.[20] Adapun lawan dari keempat sifat utama ini adalah bodoh, penakut, rakus, dan zalim.
Secara ringkas, unsur-unsur etika Ibnu Miskawaih dapat disusun sebagai berikut: pengertian akhlak, keutamaan (fadhilah), kebahagiaan (sa'adah), cinta (mahabbah), dan pendidikan akhlak pada anak-anak.[21] Namun, setidaknya tiga masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian tentang moral ini, yaitu: kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa'adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Kebaikan menurut Ibnu Miskawaih adalah suatu keadaan dimana manusia sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Selanjutnya, kebaikan itu dibagi menjadi dua macam, yaitu yang bersifat umum dan khusus. Di atas kedua macam kebaikan itu terdapat kebaikan mutlak yang identik dengan wujud tertinggi yang menjadi target pencapaian bagi semua kebaikan. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Adapun kebaikan khusus merupakan kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan dalam bentuk terakhir inilah yang kemudian disebut sebagai kebahagiaan (al-sa'adah). Adapun keutamaan (al-fadhilah) adalah cinta kepada sesama manusia (mahabbah al-insan li al-nas kaffah). Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Manusia tidak akan sampai kepada tingkat kesempurnaannya kecuali dengan memelihara jenisnya serta menunjukkan pengertiannya terhadap sesamanya. Selanjutnya, ditegaskan bahwa cinta tersebut tidak akan mewujud kecuali manusia itu berada di tengah-tengah masyarakatnya dan berintegrasi di dalamnya. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa pandangan Ibnu Miskawaih tentang moral adalah moral manusia dalam konteks maksyarakat.[22] Beliau mengecam tindakan uzlah (menjauhkan diri dari masyarakat untuk tujuan kontemplasi). Baginya, sikap uzlah merupakan sikap mementingkan diri sendiri. Bahkan, ia mengidentikkan uzlah itu dengan sifat kikir (bakhil) dan aniaya (dzhalim).[23]
Dalam kaitannya dengan pendidikan, Ibnu Miskawaih menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan anak. Menurutnya, masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anaklah berakhirnya ufuk hewani dan bermulanya ufuk manusiawi. Olehnya itu, daya keinginan, daya marah, dan daya berfikir yang ada pada anak-anak mesti dilatih dengan optimal demi perwujudan moralitas yang baik.[24]
III. Filsafat Negara
Negara merupakan agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Mac Iver mendefinisikan negara sebagai assosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.[25]
Dalam hukum internasional, negara sebagai kesatuan politik sekurang-kurangnya harus memiliki empat unsur, seperti dirumuskan dalam Konvensi Montevideo yang dikutip oleh F. Isywara sebagai berikut: 1) penduduk yang tetap, 2) wilayah tertentu, 3) pemerintah, dan 4) kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara lain.[26] Sementara Miriam Budiardjo menyebutkan empat unsur yang mesti dipenuhi oleh sebuah negara, yaitu penduduk, wilayah, pemerintah, dan kekuasaan.[27] Al-Mawardi juga menulis bahwa setidaknya ada lima unsur pokok dalam suatu negara, yaitu: 1) agama sebagai landasan negara dan persatuan rakyat, 2) wilayah, 3) penduduk, 4) pemerintah yang berwibawa, dan 5) keadilan atau keamanan.[28]
Sehubungan dengan itu, Plato dalam buku Republic menggambarkan bahwa yang menjadi tujuan hidupnya adalah terbinanya sebuah negara, masyarakat dan pendidikan. Menurutnya, pemerintahan (baca: negara) harus dipimpin oleh idea yang tertinggi, yaitu idea kebaikan. Kemauan untuk melaksanakan itu bergantung kepada budi. Tujuan negara yang benar ialah mendidik warga negara agar memiliki budi. Adapun pencapaian budi yang benar hanya dapat dicapai dengan pengetahuan. Dengan demikian, ilmu harus berkuasa di dalam negara. Senada dengan pandangannya itu, ia mengucapkan pernyataan yang cukup tersohor bahwa "Kesengsaraan dunia tidak akan berakhir sebelum filsuf menjadi raja atau raja-raja menjadi filsuf".[29]
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Aristoteles bahwa pelaksanaan moral baru bisa sempurna di dalam negara.[30] Menurutnya, manusia memiliki bakat moral, tetapi itu hanya dapat dikembangkan dalam hubungannya dengan manusia lain atau dengan jalan bermasyarakat karena manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon). Negara bertujuan mengarahkan masyarakat untuk memperoleh keselamatan. Kewajiban negara ialah mendidik rakyat untuk berpendirian tetap, berbudi baik dan kecakapan untuk meraih yang sebaik-baiknya.
Pandangan Aristoteles tentang bentuk negara merupakan kelanjutan dari paham moralnya. Ia telah menyelidiki 158 buah undang-undang dasar negara-kota dalam dunia Grik kala itu. Hanya saja, ia tidak mengemukakan suatu cita-cita yang luar biasa seperti yang telah dilakukan Plato. Ia lebih cenderung berpendapat bahwa kesepadanan dengan kepentingan hidup yang berlaku di masa itu merupakan suatu yang dianjurkan. Sungguh pun begitu, Aristoteles tetap memandang demokrasi lebih rendah ketimbang aristokrasi, karena dalam demokrasi keahlian digantikan dengan jumlah. Bentuk yang terbaik -menurutnya- adalah kombinasi antara aristokrasi dan demokrasi.
Kembali kepada pemikiran filsuf muslim, Al-Kindi menggabungkan antara kecenderungan pemikiran Plato-Aristoteles (Platonic-Aristotelian) dan Neoplatonis.[31] Kelihatannya, pandangan politik Al-Kindi terbatas pada etika individu dalam kaitannya dengan pencapaian kebahagiaan sejati di akhirat kelak dengan cara mengabaikan dunia dan meningkatkan perolehan pengetahuan spiritual, terutama tentang sang Pencipta.
Al-Farabi juga terpengaruh oleh konsep Plato tentang negara yang menyamakannya dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki, dan anggota tubuh lain dengan fungsinya masing-masing. Menurutnya, yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena dari kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan yang mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian halnya dalam negara. Sebagai bagian terpenting dalam negara, kepala negara haruslah orang yang paling unggul dalam bidang intelektual maupun moralnya.
Kebahagiaan manusia diperoleh karena perbuatan dan cara hidup yang dijalankannya. Lebih lanjut, Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki tidak mungkin dapat mewujud di dunia ini, tetapi di akhirat kelak. Namun, kebahagiaan nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan dan kesenangan dapat diperoleh di dunia ini. Kebahagiaan sejati dapat diraih melalui tindakan-tindakan mulia, kebajikan-kebajikan dan keutamaan-keutamaan. Atas dasar inilah, Al-Farabi menandaskan bahwa perwujudan ke arah itu adalah dengan kepemimpinan yang tegak dan benar-benar.[32]
Di samping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memiliki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, kesehatan jasmani, serta kefasihan berbicara. Kepala negara juga mesti memiliki akal tingkatan ketiga (al-aql al-mustafad) agar bisa berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Jika tidak ada nabi yang akan menjadi kepala negara, maka dapat digantikan oleh orang yang dianggap memiliki sifat nabi, yaitu filsuf.[33] Selanjutnya, rakyat harus bekerja sama sesuai kemampuan masing-masing. Inilah yang mesti dipenuhi dalam sebuah negara ideal ala Al-Farabi.
Mengenai terjadinya masyarakat, Al-Farabi mengulangi pendapat yang telah ada waktu itu. Pertama, masyarakat timbul dengan adanya kekuasaan seseorang yang kuat (raja atau panglma) yang mempersatukan dan memimpin masyarakat itu. Kedua, disebabkan oleh persamaan keturunan atau hubungan darah di antara warga-warganya. Ketiga, masyarakat itu dapat terbentuk dengan adanya hubungan perkawinan di antara beberapa keluarga. Lebih lanjut, ia mengklasifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan, yaitu: Satu, masyarakat sempurna. Dua, masyarakat yang tidak sempurna. Masyarakat sempurna dibaginya kepada tiga tingkatan, yakni: 1) masyarakat besar, yaitu dunia seluruhnya. 2) masyarakat pertengahan yang terdiri atas sebagian dunia atau suatu territorial, dan 3) masyarakat kecil yang hanya terdiri atas satu kota.[34]
Selanjutnya, dari segi kemampuan suatu pemerintahan, Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu politik kepada dua macam, yaitu: Pertama, kemampuan dalam melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat universal. Kedua, kemampuan yang disebabkan oleh adanya ketekunan dalam aktifitas politik, dengan harapan bisa menjadi kebijaksanaan.[35]
Pada penjelasan selanjutnya, Al-Farabi menyebutkan bahwa jika tujuan negara utama, kebahagiaan dan keserasian terganggu, maka akan melahirkan empat macam kemungkinan kota (negara) korup, yaitu: a) kota kebodohan (jahil), b) kota pembangkang (fasiq), c) kota pembelot (mutabaddilah), d) kota yang salah (sesat).[36] Kota kebodohan (jahil) digambarkan sebagai kota yang penduduknya tidak mengetahui kebahagiaan sejati dan tidak pula mengejarnya, malahan mereka terpikat dengan kesenangan-kesenangan hidup yang palsu, seperti mementingkan kesentosaan pribadi atau pemeliharaan diri. Kota pembangkang (fasiq) adalah kota yang penduduknya memahami tentang kebenaran tentang Tuhan, kehidupan akhirat dan kebahagiaan sejati, tetapi gagal untuk hidup sesuai dengan kebenaran itu. Kota pembelot (mutabaddilah) di lain pihak merupakan kota yang pada mulanya memenuhi kriteria tersebut, tetapi kemudian membelot daripadanya. Kota yang salah (sesat) adalah kota yang tidak pernah mencapai lebih dari suatu pengetahuan yang keliru tentang Tuhan atau kebahagiaan sejati dan diperintah oleh nabi-nabi palsu yang menggunakan jalan licin dan tipu daya dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Dari pandangan politik Al-Farabi ditemukan bahwa idealitas mendominasi pemikirannya sehingga jauh dari kehidupan nyata. Bahkan, De Bour, sebagaimana kutip Engineer, bahwa dengan menggunakan cara pandang ketimurannya terhadap segala sesuatu, konsep republik idealnya Plato dia ubah menjadi konsep "Filsuf sebagai Penguasa".[37] Konsepsi negara ideal yang ditawarkan Al-Farabi yang terkesan idealis tersebut dilatari oleh pengalaman Al-Farabi yang tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahan. Ia lebih senang berkhalwat atau menyendiri sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Adapun kemungkinan lain yang melatari pemikiran tersebut adalah situasi di masa itu, yaitu kekuasaan Abbasiyah sedang diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan karena alasan kesukuan ataupun materi.[38]
Di lain pihak, Ibnu Miskawaih memandang negara (kerajaan) sebagai suatu yang tak dapat dipisahkan (closely related) dari agama. Ia mengadopsi pendapat Azdsher, seorang raja dan filsuf bangsa Persia, yang mengatakan bahwa agama dan kerajaan ibarat dua saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side or the same coin), yang satu tak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, sedangkan kerajaan sebagai pengawalnya.[39] Segala sesuatu tanpa landasan dasar akan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia. Menurutnya, raja yang berkuasa harus menjaga tegaknya agama, selalu waspada menjaga posisinya, melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh, tidak lengah, tidak mengejar kenikmatan pribadi, tidak mengejar kehormatan dan kesenangan dengan jalan yang sah menurut agama.
Berkenaan dengan ungkapan khalifah Abu Bakar As-Shiddiq dalam pidato penobatannya sebagai khalifah: "Manusia yang paling sengsara di dunia dan di akhirat adalah para raja", Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa yang dimaksud adalah raja yang setelah berkuasa amat sayang membelanjakan harta yang dimiliki, tetapi amat tamak (rakus) terhadap harta orang lain.[40] Umur yang ditentukan baginya berkurang separuhnya dan hatinya selalu diliputi rasa ketakutan. Raja yang demikian itu selalu mengharapkan hilangnya kenikmatan pada orang fakir miskin dan menunjukkan rasa tidak senang kepada orang kaya, dan merasa bosan terhadap kemakmuran bersama. Raja yang demikian bak mata uang palsu dan fatamorgana yang menipu. Lahirnya tampak pemberani, tetapi batinnya pengecut.
IV. Akhir Kata
Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa hubungan antara etika dengan politik sangatlah esensial. Hal tersebut dapat dipahami dengan landasan pemikiran politik masing-masing filsuf di atas dan setelah mengkomparasikan dengan pemikiran filsuf Yunani kuno yang memperlihatkan kesatuan tersebut. Demikian pula, pengaruh filsafat Yunani kuno sangat besar merasuk dalam pikiran para filosof muslim yang disebutkan di atas.
Akhirul kalam, diskursus tentang etika dan negara dalam bingkai filsafat Islam sangatlah urgen untuk diselami. Pasalnya, stereotip yang menegasikan pemikiran filsuf muslim merupakan suatu tantangan yang patut untuk dijawab. Selamat membaca!
Kepustakaan
Badawi, Abdurrahman, "Miskawaih" dalam M.M. Sharif, (ed.), A History of Muslim Philosophy, Wiesbaden: Otto Harrossowitz, 1963, Vol. I
Budiardjo, Miriam, Prof., Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998, Cet. XIX
Engineer, Asghar Ali, Devolusi Negara Islam, (Diindonesiakan oleh Imam Mutaqin) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Cet. I
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat III, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. IV
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI-Press, 1986, Cet. III, h. 132.
Isywara, F., Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Bina Cipta, 1980, Cet. VII
Iver, Robert M. Mac The Modern State, (diindonesiakan oleh Drs. Moertono) Jakarta: Aksara Baru, 1977
Longman, Dictionary of Contemporary English, London: Longman Group, 1998, Edisi VIII
Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1966
Musa, Muhammad Yusuf, Baina ad-Din wa al-Falsafah, Kairo: Dar al-Ma'arif, 1971
Mustofa, H. A., Drs., Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, Cet. I
Nasr, Seyyed Hossein & Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, London: Routledge, 1996, Vol. I, Cet. I
Nasution, Hasyimsyah, Dr., Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, Cet. II
Said, H. Muhammad, Etika Masyarakat Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960
Setiardja, A. Gunawan, Dialektika Hukum dan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1990
Syafiie, Inu Kencana, Drs., Ilmu Politik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997, Cet. I
Thawil, Taufiq, Falsafah al-Akhlaq, Kairo: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1979


________________________________________
[1] Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Miskawaih merupakan tokoh-tokoh filsafat dari dunia Islam timur. Selain mereka terdapat Al-Razi, Ikhwan al-Shafa, Ibnu Sina dan Al-Ghazali. Adapun dari dunia Islam barat terdapat Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Penjelasan lebih lanjut, lihat: Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. II, h.15-126.
[2] A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), Cet. I, h. 90.
[3] Term moral ekuivalen dengan term ethics yang diartikan sebagai "Aturan-aturan moral atau pijakan pokok kelakuan yang mempengaruhi individu atau kelompok". (Moral rules or principles of behaviour governing a person or group). Lihat: Longman, Dictionary of Contemporary English, (London: Longman Group, 1998), Edisi VIII, h. 346.
[4] H. Muhammad Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1960), h. 23. Dalam makalah ini penulis menyamakan pengertian moral, etika dan akhlak.
[5] A. Gunawan Setiardja, Op. cit., h. 92.
[6] Tentang eudaemonie ini yaitu kebahagiaan sebagai barang yang tertinggi dalam kehidupan, pandangan Aristoteles pada dasarnya serupa dengan etik Sokrates dan Plato. Hanya saja, Aristoteles memahaminya secara realistis dan sederhana. Ia tidak mempermasalahkan tentang budi dan berlakunya lagi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sokrates. Ia juga tidak mengaitkan dengan pengetahuan tentang idea yang kekal dan tidak berubah-ubah, idea tentang kebaikan, seperti yang ditegaskan oleh Plato. Menurutnya, manusia mengarah kepada kebaikan yang digapai sesuai jenisnya baik laki-laki, wanita, derajatnya, kedudukan ataupun profesinya. Tujuan hidup menurutnya bukanlah mencapai kebaikan untuk kebaikan, melainkan merasakan kebahagiaan tersebut. Sebagai contoh, kebahagiaan bagi seorang dokter adalah kesehatan, dan bagi seorang pengusaha adalah kesejahteraan dan kemakmuran hidup. Lihat: Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 1986), Cet. III, h. 132.
[7] Al-Kindi hidup semasa pemerintahan Daulah Abbasiyah, yaitu: Al-Amin (809-813 M), Al-Ma'mun (813-833 M), Al-Mu'tashim (833-842 M), Al-Watsiq (842-847 M), Al-Mutawakkil (847-861 M). Dari karangan-karangan yang dihasilkannya tergambar bahwa ia merupakan penganut aliran eklektisisme, yaitu suatu kepercayaan yang tidak memergunakan atau mengikuti metode apapun yang ada, melainkan mengambil apa yang paling baik dari metode-metode filsafat yang ada. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), Cet. I, h. 101.
[8] Penjelasan lebih lanjut, lihat: Ibid., h. 83.
[9] Sekolah Stoa didirikan oleh Zeno dari Kition. Kemunculannya hampir bersamaan dengan Sekolah Epikuros di Athena. Lihat: Ibid., h. 148.
[10] Masalah kausalitas dalam filsafat terletak dalam dua hal, yaitu: Satu, pikiran manusia yang tidak dapat menerima kebetulan dan pengalaman sehari-hari. Dua, hubungan sebab akibat tidak dapat ditangkap dengan pancaindera dan tidak dapat diselidiki lebih lanjut. Keyakinan akan adanya hubungan kausalitas itu tertanam dalam jiwa manusia berdasarkan pengalaman sehari-hari. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), Cet. IV, h. 93.
[11] Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996), Vol. I, Cet. I, h. 962.
[12] Ibid., h. 963.
[13] Hasyimsyah Nasution, Op. cit., h. 43.
[14] Sebagai bapak Etika Islam, Ibnu Miskawaih dikenal juga sebagai The Third Teacher (Mu'allim Tsalits) setelah Al-Farabi sebagai The Second Teacher (Mu'allim Tsani) dan Aristoteles sebagai The First Teacher (Mu'allim Awwal). H. A. Mustofa, Op. cit., h. 176.
[15] Muhammad Yusuf Musa, Baina ad-Din wa al-Falsafah, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1971), h. 70.
[16] Hasyimsyah Nasution, Op. cit., h. 62.
[17] Ibnu Miskawaih membatasi tujuh jenis hikmah, yaitu: tajam dalam berfikir, cekatan berfikir, jelas dalam pemahaman, kapasitas yang cukup, teliti melihat perbedaan, kuat ingatan, dan mampu mengungkapkan.
[18] Ada sebelas sifat keberanian, yaitu: murah hati, sabar, mulia, teguh, tenteram, agung, gagah, keraskeinginan, ramah, bersemangat, dan belas kasih.
[19] Ada dua belas sifat kesederhanaan, yaitu: malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar, rela, tenang, saleh, tertib, jujur, dan merdeka.
[20] Abdurrahman Badawi, "Miskawaih" dalam M.M. Sharif, (ed.), A History of Muslim Philosophy, (Wiesbaden: Otto Harrossowitz, 1963), Vol. I, h. 474.
[21] H. A. Mustofa, Op. cit., h. 177-182.
[22] Taufiq Thawil, Falsafah al-Akhlaq, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1979), h. 162.
[23] Ibid
[24] Abdurrahman Badawi, Op. cit., h. 478-479.
[25] (The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the external conditions of order). Robert M. Mac Iver, The Modern State, (diindonesiakan oleh Drs. Moertono) (Jakarta: Aksara Baru, 1977), h. 16.
[26] F. Isywara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Bina Cipta, 1980), Cet. VII, h. 95.
[27] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), Cet. XIX, h. 42-44.
[28] Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), h. 36.
[29] Pandangan Plato tentang negara masih terpaut dengan masanya. Pasalnya, ia hidup pada masa Athena dengan pertentangan yang sangat menyolok antara kaum kaya dan miskin yang mengakibatkan alotnya pertentangan politik kala itu. Kekuasaan oligarki, aristokrasi dan demokrasi tampil silih berganti, tetapi tidak dapat mendudukkan pemerintahan yang tetap. Atas alasan itulah Plato kemudian menciptakan suatu konsep bentuk negara yang ideal. Mohammad Hatta, Op. cit., h. 109-110.
[30] Pada mulanya, negara masih seluas sebuah kota dengan kesibukan pemerintahan yang belum begitu kompleks. Beberapa filsuf Yunani kuno (kira-kira empat abad sebelum kelahiran Nabi Isa As) seperti Plato, Sokrates, Herodotus, Aristoteles, Anthistenes dan raja Alexander Yang Agung hidup di zaman tersebut. Hal tersebut berimplikasi pada produk pemikiran mereka yang cenderung terikat pada situasi dan kondisi di zaman itu. Plato misalnya, menganggap bahwa bentuk negara seperti monarsi, oligarsi dan demokrasi merupakan bentuk yang baik dari penguasaan negara, sedangkan bentuk buruknya dinamakan tirani (penguasaan oleh satu orang secara buruk), aristokrasi (penguasaan secara kelompok orang secara buruk, dan mobokrasi (penguasaan oleh rakyat banyak secara buruk). Aristoteles sebagai murid mengemukakan bentuk penguasaan negara yang serupa dengan pendapat gurunya, tetapi menyebut mobokrasi dengan istilah okhlorasi. Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), Cet. I, h. 98-99.
[31] Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Op. cit., h. 844.
[32] H. A. Mustofa, Op. cit., h. 131.
[33] Hasyimsyah Nasution, Op. cit., h. 41.
[34] H. A. Mustofa, Op. cit., h. 163.
[35] H. A. Mustofa, Op. cit., h. 132.
[36] Hasyimsyah Nasution, Op. cit., h. 42.
[37] Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam, (Diindonesiakan oleh Imam Mutaqin) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Cet. I, h.128.
[38] Hasyimsyah Nasution, Op. cit., h.43.
[39] H. A. Mustofa, Op. cit., h. 186.
[40] H. A. Mustofa, Op. cit., h. 187.

FILSAFAT ETIKA DAN MORAL KANT

Imanuel Kant, terkenal dengan filsafat kritisnya yang lebih banyak berbicara tentang filsafat moral dan etika. Dia merupakan tokoh penting karena dia bisa disebut sebagai pemersatu antara filsafat Rasionalisme dan Emipirisme. Tapi ternyata usahanya untuk menyatukan keduanya terpecah kembali sehingga sekarang kita kenal filsafat positivisme --logis-- dan idealisme. Tulisan ini hanya sedikit rangkuman tentang filsafat etika dan moral Imanuel Kant, karena saya sendiri masih 'mau' belajar tentang filsafatnya, dan selalu tidak ada waktu saja untuk itu :-( Tapi lain kali akan saya update tulisan ini. Du kannst, denn du sollst! Kita wajib, karena kita bisa (melakukannya)! Filsafat kritis adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Filsafat sebelum kritisme harus dianggap sebagai dogmatisme, sebab filsafat itu percaya ,mentah mentah pada kemampuan rasaio tanpa penyelidikan terlebih dahulu.

Pemutarbalikan Kopernikan (Kopernikanische Wende): "Sebelum Kant: kebenaran dimengerti sebagai "pencocokan intelek terhadap realitas" (adaequatio intellectus ad rem), sejak Kant kebenaran itu lebih merupakan "pencocokan realitas terhadap intelek" (adaequatio rei ad intellectum) "Objeklah yang mengarahkan diri kepada subjek untuk diproses menjadi pengetahuan, bukan subjek (manusia, "aku") mengarahkan diri pada objek (benda, "dunia") Inggris: Englightenment Perancis: Illuminism (?) Jerman: Aufkl Arung Semboyan: Sapere Aude! (Beranilah berfikir sendiri) Horace, filsuf Romawi Gerakan Pietisme di Jerman Doa tidak perlu karena toh Tuhan sudah tau kebutuhan dan isi hati kita. Gereja sejati tidak berada dalam organisasi mamna pun atau dalam ajaran-ajaran teologi, melainkan dio dalam hati orang yang percaya dan shaleh. Tingkah laku shaleh (baik) daripada ajaran teologis. Adanya Allah, berkehendak bebas, dan kebaaan jiwa tidak bisa dibuktikan secara teoritis, melainkan perlu diterima sebagai postulat budi praktis (praktishen vernunft)-yakni sebagai Idea-yang menyangkut kewajiban kita menaati hukum moral (Sittengesetz) Rasionalisme: Leibniz & Wolff Adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan sejati adalah akal budi (rasio).


Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan akal budi; akal budi sendiri tidak memerlukan pengalaman. Akal budi dapat menurunkan kebenaran2 dari dirinya sendiri, yakni berdasarkan azas-azas yang pertama dan pasti. Metode kerjanya bersifat deduktif. Monade: bersifat metafisik, 3 macam monade Empirisme: Hume (empeiria=pengalaman nyata, bhs.Yunani) Pengalamanlah yang menjadi sumber utama pengetahuan, baik pengalaman lahirian maupun pengalaman batiniah. Akal budi bukan sumber pengetahuan, tetapi ia bertugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman menjadi pengetahuan. Metodenya bersifat induktif. Kesan-kesan (impression) Pengertian-pengertian atu idea-idea (ideas) ' diperoleh secara tidak langsung daripengalaman "kepercayaan" (belief) ' skepsisisme Hume: tidak pernah dicapai suatu kepastian, yang ada kemungkinan Pandangan Hume thd manusia: "Aku" bukanlah substansi, melainkan "serangkaian atau kumpulan kesan-kesan yang silih berganti dengan kecepatan yang tak terbayangkan". Tidak ada "Aku" yang berdiri sendiri; yang bisa dijumpai adalah "Aku yang marah", "Aku yang sakit", "Aku yang kedinginan" Kausalitas (prinsip sebab-akibat): pengulangan berkali-kali pengalaman serupa, hanya memperlihatkan urutan-urutan gejala Critique of Pure Reason 3 macam putusan:

1. Putusan analitis: di sini predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat didalamnya (misalnya: lingkaran adalah bulat).

2. Putusan sistesis aposteriori: di sini predkat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, misalnya pernyataan "Meja itu bagus".

3. Putusan sistesis a priori: di sini dipakai suatu sumber [engetahuan yang kendati bersifat sistensis, namun toh bersifat a priori juga. Misalnya, putusan berbunyi "segala kejadian mempunyai sebabnya" Hirarki proses pengetahuan manusia:

1. Tingkat penyerapan inderawi (Sinneswahrnehmung), tingkat yang paling rendah Ruang dan waktu adalah a priori sensibilitas, sudah berakar dalam struktur subjek

2. Tingkat akal budi (Verstand) yang berhubungan dengan realitas empiris 12 kategori2 yang merupakan ide-ide baawaan/ bersifat asasi, yang menunjukan Kuantitas (kesatuan, kejamakan, keutuhan) Kualitas (realitas, negasi, pembatasan) Relasi (substansi dan aksidens, sebabakibat atau kausalitas, interaksi) Modalitas (mungkin/mustahil, ada.tiada, keperluan/kebetulan)

3. Tingkat budi atau intelek (Verfnunft) Idea (Idee) paham metafisik yang absolut yang sama sekali lebas dari unsur2 empiris 3 Idea transendenta, tidak bisa diketahui oleh pengalaman karena berada dalam dunia noumenal (noumenon, bukan pahinomenon, bhs. Yunani), merupakan postulat-postulat atau aksioma-aksioma epistemologis yang berada diluar jangkauan pembuktian teoritis-empiris:

1. Idea psikologis (jiwa)

2. Idea kosmologis (dunia)

3. Idea teologis (Allah)

Aliran dalam etika

1.    Hedonism etis
Berasal dari bahasa Yunani, hedone: nikmat, kebahagiaan.
Khas: bagaimana seseorang dapat terhindar dari perasaan sedih, tidak memikirkan kesedihan orang lain (menanggalkan perasaan orang lain). HE hanya memandang dari segi motivasi satu pihak.

2.    Etika pengembangan diri
Model teori HE yang kemudian dikembangkan kembali oleh aristoteles.
Seseorang dapat bahagia karena dapat menyalurkan bakat dan merealisasikannya.
Contoh: seseorang tidak akan bahagia meskipun mendapatkan uang yang sangat banyak jikalau ia mendapatkan uang itu bukan dari bakatnya.
Bagaimana manusia berkembang? Orang tidak berkembang apabila ia hanya memikirkan cara mengembangkan diri.

3.    Utilitarisme
Utili: berguna
Bahwa hasil dari tindakan tidak dari motivasi tetapi dari kegunaan.

•    Tolak ukur dalam menilai seseorang bersifat konkrit yaitu prinsip dasar moral
•    Adapun Prinsip dasar Moral adalah:
1.    Prinsip sikap baik: menjalankn sikap yang mana orang lain tidak dirugikan karena kebaikan sifat.
Dalam diri seseorang pada dasarnya memiliki rasa positive thinking
Perubahan pola pikir dari positif thinking ke negatif thinking adalah sikap kewaspadaan, terjadi karena realita sosial
2.    Prinsip keadilan: kedua belah pihak tidak dirugikan (satu sisi memberikan hak pada orang lain tetapi satu sisi merugikan orang lain, ini yang namanya merugikan) inilah yang dinamakan prinsip sikap adil
3.    Prinsip hormat kepada diri sendiri: intinya jangan sampai kita diperas, dan janga sampai kita dirampas apalagi ditindas.

•    Apa hubungannya dari tiga prinsip ini? Prinsip hormat dan keadilan akan mendorong untuk melakukan prinsip sikap baik
•    Dalam nilai selalu berbicara etika dan estetika. Nilai sendiri adalah: sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, yang menyenangkan, yang selalu diinginkan.
•    Beda nilai dengan fakta:

NILAI    FAKTA
Seuatu yang memikat di dalam sebuah kehidupan (masih bersifat abstrak, belum diketahui berapa posentasenya)   
Sebuah apresiasi seseorang (persepsi antara satu hal dan lain belum tentu sama)    Konteks diskripsi dari suatu hal yang diuraikan satu persatu sehingga bisa diterima oleh orang banyak
Contoh: kamar ini luas    Contoh: kamar ini luasnya 7X9 M
Bersifat subyektif (tetapi ada criteria yang dapat membuat nilai itu obyektif    Bersifat obyektif
   

•    Ciri ciri nilai:
a.    Nilai selalu berkaitan dengan subyek
b.    Nilai muncul dalam suatu konteks yang praktis (ada keinginan subyek menilai untuk membuat suatu penilaian)
c.    Nilai moral tidak dapa berdiri sendiri, dia selalu menempel dengan nilai nilai yang lain sehingga nilai disebut dengan pramoral.


KEBEBASAN
•    Adalah suatu tindakan yang tidak ingin terikt dari suatu hal yang mengekang.
•    Kebebasan makna positif dan negatif
•    Kebebasan ada dua macam: kebebasan eksistensial (kemampuan kita ntuk menentukan diri sendiri, setiap orang bebas melakukan keinginan, kebebasan hanya berlaku pada tindakan sadar) dan kebebasan sosial (kebebasan tindakan yan kita terima dari orang lain.
•    Kebeasan eksistensial terbagi dua: Kebeasan eksistensial jasmani (kita bisa menggerakkan fisik sesuai dengan kemampuan yang kita miliki) dan Kebeasan eksistensial rohani (kemampuan kita untuk boleh menentukan diri sendiri atas apa yang kita pikirkan sehinggatitik beratnya pada akal manusia)
•    Bagaimana hubungan Kebeasan eksistensial jasmani dan rohani?? Pertama, paksaan fisik yang menerbatasi jasmani dapat menyebabkan gangguan rohani. Kedua sebuah tindakan adalah suatu kehendak yang menjelma dan menjadi nyata, berarti kehendak merupakan permulaan sebuah tindakan manusia untuk menghendaki gerkan fisik/tubuh.
•    Kebebasan sosial juga ada dua macam: Jasmani (sebuah kebebasan yang tidak dibatasi paksaan secara fisik oleh orang lain) dan Rohani (sebuah kebebasan yang terlepas dari kekangn psikis orang lain)

Legitimasi pembebasan kebebasan sosial
1.    Hak : setiap manusia akan kebebasan yang sama
2.    Setiap manusia merupakan anggota dari sebuah masyarakat

•    Hubungan kebebasan dan tanggung jawab? Kebebasan sosial itu ruang gerak dari kebebasan eksistensial, sehingga kita bebas bertindak sajauh orang lain membiarkan tindakan kita.
•    Cara membatasi kebebasan: dengan paksaan, tekanan/manipulasi fisik, melalui kewajiban dan larangan.
•    Hubungan etika dan ilmu pengetahuan, haruskah perkembangan ilmu pengetahuan dengan etika? Jawab: apapun bentuknya kalau ilmu itu dipakai/diterapkan/digunakan kepada permasalahan sosial maka ilmu itu harus diesentuhkan dengan etika (nilai baik buruk), karena jika ilmu melawan nilai dan norma dan menyebabkan dampak buruk bagi manusia, maka ilmu itu tidak diperbolehkan. Tetapi jika ilmu itu baru dalam tahap percobaan experiment (masih dalam lab, maka ilmu itu bebas etika. 

AUFKLARUNG DAN AKIBATNYA BAGI PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT KHUSUSNYA DI INGGRIS DAN PERANCIS

Abad 18 pemikiran filsafat diliputi oleh suatu masa yang dinamakan “Aufklarung”  berarti pencerahan (bahasa Inggris : “Enlightenment”). Zaman ini tidak lepas dari pengaruh Renaissance sebagai gerakan sebelumnya, dan merupakan buah pahit dari Empirisme dan Rasionalisme yang muncul beberapa saat sebelumnya. Gerakan Aufklarung ini muncul melanda hampir semua negara Eropa terutama di Inggris, Perancis dan Jerman.

Immanuel Kant (Jerman) menggambarkan bahwa kurun waktu selama ini, manusia  telah melakukan kesalahan dengan tidak mau memanfaatkan akalnya sendiri. Manusia telah keluar dari keadaan tidak akil balig (Unmundigkeit ). Voltaire menyebutnya zaman ini adalah zaman akal .

Maka semboyan gerakan ini adalah Sapere Aude artinya “berani berpikir sendiri”. Sehingga  kepercayaan akal atau rasio sangat berperanan besar dalam abad 18 ini , seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan pada saat itu.

Digambarkan bahwa pada saat itu :
1.    Hampir setiap tahun terjadi penemuan ilmiah baru yang mendasarkan pada fisika klasiknya Isaac Newton (1687) dengan judul buku Philosophiae naturalis principia mathematica  (ilmu pengetahuan alam berdasarkan prinsip – prinsip matematisnya). (Dengan demikian pengaruh Descartes telah dibuang jauh – jauh).
2.    Juga adanya usaha untuk mengumpulkan segala pengetahuan secara sistematis yaitu Ensiklopedi.  Ensiklopedi yang terbit pertama kali yaitu Encyklopaedia Britanica.
3.    Metode yang dipakai dalam filsafat adalah metode induksi yaitu berpangkal pada gejala –gejala dan mencoba mengembalikan kepada beberapa azas dan hukum yang bersifat umum, ini sesuai dengan cara Newton dalam menyelidiki alam.
4.    Analisa adalah alat yang tepat dipakai bagi segala pemikiran, termasuk didalamnya untuk mengkritik penguasa.

Tokoh Aufklarung antara lain :
a. Inggris
1.    David Hume ( 1711 – 1776 ) .
2.    George Berkeley ( 1685 – 1753 ).  
b.    Perancis.
1.    Voltaire ( 1694 – 1778 ).
2.    Jean Jacques Rousseau ( 1712 – 1778 ).
c.    J erman .
1.    Immanuel Kant ( 1724 – 1804 ).

                A. AUFKLARUNG DI INGGRIS.
Gejala aufklarung di Inggris ( khas Inggris ) adalah Deisme. Deisme adalah mengakui adanya Allah sebagai pencipta dunia ini, tetapi setelah penciptaan dunia Tuhan tidak campur tangan sama sekali. Sebab diyakini bahwa Tuhan telah memasukkan hukum – hukum dunia itu ke dalamnya. Dunia akan berjalan sesuai dengan hukum – hukum itu.

Tujuan dari aliran ini adalah untuk menakhlukkan ajaran agama termasuk kitab sucinya kepada kritik akal  dan menjabarkan agama dari pengetahuan alamiah, bebas dari ajaran gereja. Dengan kata lain adalah akal diakui sebagai sumber dan patokan kebenaran.    

Paham ini (Deisme) merupakan aliran dalam filsafat yang menggabungkan diri dengan gagasan Eduard Herbert dari Cherburry (1581-1648). Menurut Herbert, akal mempunyai otonomi mutlak dibidang agama, termasuk agama Kristen ditaklukkan oleh akal. Ukuran kebenaran dan kepastian adalah persetujuan umum segala manusia, karena kesamaan akalnya.

Inilah azas-azas pertama yang harus dijabarkan oleh akal manusia sehingga tersusun agama alamiah:
1.     Ada tokoh yang tertinggi.
2.    Manusia harus berbakti kepada tokoh yang tertinggi tersebut.
3.    Pokok kebaktian adalah kebajikan dan kesalehan.
4.    Manusia karena tabiatnya benci terhadap dosa.
5.    Kebaikan dan keadilan Tuhan memberikan pahala dan hukuman pada manusia baik dunia maupun di aakherat.

A.    1. DAVID HUME ( 1711 – 1776 ).
Menurut David Hume, sumber pengetahuan manusia adalah pengamatan, manusia tidak mempunyai pengetahuan bawaan seperti yang diyakini oleh Descartes. Pengamatan diyakini memberi manusia 2 (dua) hal :
a.    Impression atau kesan – kesan  adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman (lahiriah maupun batiniah) yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat. (Contoh lihat Harun H. hal 53).
b.    Ideas atau ide – ide atau pengertian adalah gambaran tentang pengamatan yang redup, samar – samar, yang dihasilkan dengan merenungkan kembali .

Menurut Hume, ide atau pengertian adalah tembusan dari kesan – kesan.  Jadi isi kesan dan ide adalah sama. Perbedaannya cuma dalam cara timbulnya dalam kesadaran, kesan timbul secara langsung dari pengamatan, sedangkan ide ditimbulkan dengan perenungan.

A.2. GEORGE BERKELEY ( 1685-1740).
Berkeley lahir di Irlandia pada tahun 1685 dan menjadi Uskup di Gereja    Anglikan dan meninggal di Cloyne tahun 1740. Filsafat Berkeley adalah suatu idealism dogmatis yang menjadi terkenal dengan kalimat atau semboyan : ESSE EST PERCIPI (Mengada tak lain dari mengamati, hanya pengamatanlah yang ada).

Berkeley dianggap sebagai filsuf yang melanjutkan karya Locke dibidang metafisika.  Namun kesimpulannya berbeda dengan kesimpulan Locke. Oki Berkeley bermuara dalam idealism yang oleh dia sendiri disebut Immaterialisme, sebab menyangkal adanya suatu dunia yang ada diluar kesadaran manusia.

        
     Padangan dasar  Berkeley adalah sebagai berikut:
1.    Segala realitas diluar manusia tergantung pada kesadaran.
2.    Tiada perbedaan antara dunia rokhani dengan dunia bendawi.
3.    Tiada perbedaan antara antara gagasan pengalaman batiniah dan gagasan pengalaman lahiriah.
4.    Tiada sesuatu yang berada kecuali roh, yang dalam realitas konkritnya adalah pribadi-pribadi tokoh-tokoh yang berpikir.


Menurut Berkeley, segala pengetahuan manusia bersandar pada pengamatan. Pengamatan adalah identik dengan gagasan yang diamati. Pengamatan bukan terjadi karena hubungan antara subjek yang mengamati dengan objek yang diamati, melainkan karena hubungan antara pengamatan  panca indera yang satu dengan panca indera yang lain.

Contoh: Pengamatan jarak atau ukuran luas antara subjek dan objek yang diamati. Pengamatan ini terjadi karena hubungan antara pengamatan penglihatan dan pengamatan raba. (Penglihatan manusia  hanya menunjukkan bahwa ada warna meja, peraba yang menunjukkan bentuk, kasar dan halusnya). Sebenarnya penglihatan manusia tidak mengamati jarak atau ukuran keluasan meja itu dengan saya. Penglihatan tidak menceriterakan berapa jauh jarak antara manusia dan barang yang diamati. Pengalaman dan kebiasaanlah yang menjadikan manusia menduga bahwa ada jarak , ada ukuran keluasan, atau ada ruang di antara manusia dan benda yang diamati.

Jika manusia mengamati sesuatu padanya ada gambaran tentang sesuatu. Akan tetapi gambaran itu tidak menggambarkan suatu realitas yang ada diluar manusia. Gambaran itu tidak mencerminkan sesuatu di luar pengamatan. Di luar pengamatan tiada benda yang konkrit. Yang ada hanya pengamatan yang konkrit, yang ada adalah ‘hal diamati’ itu. “Berada”  berarti”diamati”. Realitas hal-hal yang diamati terletak hanya dalam hal ini, bahwa hal itu diamati.


Sifat segala sesuatu yang diamati adalah konkrit. Contoh : manusia tidak dapat memikirkan keluasan ruang tanpa warna, bentuk, isi. Juga manusia tidak dapat memikirkan gerak tanpa kecepatan atau kelambatan. Dan manusia tidak dapat memikirkan segitiga yang tidak siku-siku atau sama sisi atau sama kaki. Jelaslah menurut Berkeley, hanya gagasan yang konkritlah yang dapat dipakai untuk memikirkan gagasan konkrit lainnya yang bermacam-macam itu.

Pandangan Berkeley tentang Substansi adalah tidak lebih dari suatu penggabungan dari gagasan-gagasan. Seandainya manusia meniadakan segala sifat yang ada pada sesuatu, tidak aka nada sesuatu lagi. Sebab sifat-sifat itulah yang membentuk isi sesuatu tadi. Sesuatu yang kita kenal sebenarnya adalah sesuatu kelompok sifat –sifat yang dapat diamati. Contoh: sebuah meja, terdiri dari bentuknya yang tampak, kerasnya yang dapat diraba, suaranya yang dapat didengar jika meja itu ditarik dari tempatnya. Dll.

AUFKLARUNG DAN AKIBATNYA BAGI PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT DI JERMAN (KRITISISME)

Abad 18 pemikiran filsafat diliputi oleh suatu masa yang dinamakan “Aufklarung”  berarti pencerahan ( bahasa Inggris : “Enlightenment” ). Zaman ini tidak lepas dari pengaruh Renaissance,sebagai gerakan sebelumnya. Dan merupakan buah pahit dari empirisme dan rasionalisme yang muncul beberapa saat sebelumnya.

Aufklarung ini muncul melanda hampir semua negara Eropa terutama di Inggris, Perancis dan Jerman.

Immanuel Kant ( Jerman ) menggambarkan bahwa kurun waktu selama ini, manusia  telah melakukan kesalahan dengan tidak mau memanfaatkan akalnya sendiri. Manusia telah keluar dari keadaan tidak akil balig ( Unmundigkeit ).
Voltaire menyebutnya zaman ini adalah zaman akal .

Maka semboyan gerakan ini adalah Sapere Aude artinya “berani berpikir sendiri”. Sehingga  kepercayaan akal atau rasio sangat berperanan besar dalam abad 18 ini , seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan pada saat itu.

Digambarkan bahwa pada saat itu :
1.    Hampir setiap tahun terjadi penemuan ilmiah baru yang mendasarkan pada fisika klasiknya Isaac Newton ( 1687 ) dengan judul buku Philosophiae naturalis principia mathematica  ( ilmu pengetahuan alam berdasarkan prinsip – prinsip matematisnya ). ( Dengan demikian pengaruh Descartes telah dibuang jauh – jauh ).
2.    Juga adanya usaha untuk mengumpulkan segala pengetahuan secara sistematis yaitu Ensiklopedi. Ensiklopedi yang terbit pertama kali yaitu Encyklopaedia Britanica.
3.    Metode yang dipakai dalam filsafat adalah metode induksi yaitu berpangkal pada gejala –gejala dan mencoba mengembalikan kepada beberapa azas dan hukum yang bersifat umum, ini sesuai dengan cara Newton dalam menyelidiki alam.
4.    Analisa adalah alat yang tepat dipakai bagi segala pemikiran, termasuk didalamnya untuk mengkritik penguasa.

Tokoh Aufklarung antara lain :
a. Inggris
1.    David Hume ( 1711 – 1776 ) .
2.    George Berkeley ( 1685 – 1753 ).  
b.    Perancis.
1.    Voltaire ( 1694 – 1778 ).
2.    Jean Jacques Rousseau ( 1712 – 1778 ).
c.    J erman .
1.    Immanuel Kant ( 1724 – 1804 ).

                 C. AUFKLARUNG DI JERMAN .
Gerakan Aufklarung di Jerman berjalan lebih tenang tanpa gejolak dibanding dengan  di Perancis maupun di Inggris. Hal ini terjadi karena kondisi kehidupan universitas di Jerman saat itu sudah diliputi oleh rasionalisme ( Christian Wolf ) yang nota bene sudah merupakan satu garis kesamaan dengan aufklarung.

C 1. IMMANUEL KANT  ( 1724 – 1804 )
Kant dianggap sebagai filsuf yang menyempurnakan aufklarung, Kant sendiri merasa sebagai penerus pencerahan. Pemikiran Kant diilhami oleh adanya rivalitas antara rasionalisme ( Christian Wolf ) dengan Empirisme ( David Hume).

Menurut kant, manusia harus menentukan unsur – unsur pemikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur – unsur yang terdapat pada akal manusia .

Secara garis besar, pemikiran Kant dibagi dalam 2 ( dua ) bagian :
1. Tahap Pra kritis :
    Tahap dimana Kant menganut pendirian rasionalisme ( Cristian Wolf ) dan  para pengikutnya . Saat ini pemikiran Kant masih banyak mengalami perubahan.  Inilah yang oleh Kant disebut  masa dogmatisme.
                 2. Tahap kritis :   
                     Tahap ini muncul saat kant memperoleh jabatan Guru Besar. Ketikan Kant                      mulai meninggalkan ajaran dogmatisme, dan mulai mengagumi ajaran Empirisme  ( David Hume ).

Kant mengatakan bahwa filsafatnya adalah Kritisisme, ini dipertentangkan dengan dogmatisme . Kant ingin menyelidiki kemampuan rasio dan batas- batasnya.  Seiring dengan itu maka Kant menerbitkan buku – bukunya yang berjudul :
1.    Kritik der reinen Vernunft atau  Kritik atas Rasio Murni  ( 1781).
2.    Kritik der praktischen Vernunft atau kritik atas Rasio Praktis (1788 ).
3.   Kritik der Urteilskraft  atau Kritik atas Daya Pertimbangan ( 1790 ).                
           
                 Kritisisme kant ini ingin berusaha untuk mendamaikan antara Empirisme dan    Rasionalisme. Empirisme mementingkan unsur – unsur aposteriori artinya unsur – unsur yang berasal dari pengalaman, sedangkan rasionalisme mementingkan unsur – unsur apriori artinya unsur – unsur yang terlepas dari pengalaman . 
                
                Ad 1 ). Kritik atas rasio Murni
                 Kant mengemukakan bahwa pengenalan berpusat pada subyek bukan pada obyek. Pengenalan adalah sintesa antara unsur  apriori dan aposteriori. Menurut kant, dalam pengenalan dikenal adanya tingkatan – tingkatan : 
a.    Tingkat terendah yaitu taraf  pengamatan inderawi.
b.    Tingkat kedua yaitu  taraf  akal ( Verstand )  ( K. Bertens menyebutnya “akal budi “ )
c.    Tingkat teratas yaitu taraf rasio  ( Vernunft ) ( buddhi ).

Ad a). Taraf pengamatan inderawi.
Menurut Kant, pada diri subyek saat melakukan pengamatan inderawi sudah ada unsur – unsur apriori yaitu ruang dan waktu. Tetapi perlu dipahami bahwa dalam tahap inderawi ini ada “realitas”  yang terlepas dari subyek. Manusia hanya mengenal gejala – gejala atau fenomena – fenomena (das Ding an sich ), sedangkan noumena ( an sich ) ( suatu X ) tidak dapat dikenal oleh manusia. Dalam pengenalan  inderawi selalu ada sintesa antara hal yang datang dari luar dengan bentuk ruang dan waktu atau sintesa antara unsur- unsur apriori dan aposteriori. ( lihat contoh Harun H. hal 67 tentang “meja” ).

Ad b). Taraf akal ( Verstand ) ( K. Bertens menyebutnya “akal budi” ).
Menurut Kant, bersamaan dengan pengenalan inderawi inilah akal ( akal budi ) bekerja secara spontan. Tugas akal ( akal budi ) adalah mengatur data inderawi yaitu dengan mengucapkan putusan – putusan . Pada pengenalan akal (akal budi ) ini juga merupakan sintesa yaitu sintesa antara bentuk dan materi. Bentuk adalah apriori yang terdapat pada taraf akal (akal budi ), sedangkan materi adalah data – data inderawi.

Bentuk pada taraf akal ini biasanya oleh Kant disebut KATEGORI. Ada 12 kategori menurut Kant dengan perincian sebagai berikut :
1.    Kuantitas terdiri dari :
-    Kesatuan .
-    Kejamakan.
-    Keutuhan.
2.    Kualitas terdiri dari :
-    Realitas.
-    Negasi.
-    Pembatasan.
3.    Hubungan terdiri dari :
-    Substansi.
-    Kausalitas.
-    Timbal balik ( resiprositas ).
                 4. Modalitas terdiri dari
-    Kemungkinan.
-    Peneguhan.
-    Keperluan.  

                  Setiap kategori azasi terdiri dari 3 kategori, antara kategori pertama dengan kategori kedua merupakan lawan sedangkan kategori ketiga adalah merupakan kesatuan yang lebih tinggi dari 2 (dua) kategori sebelumnya. Dengan kata lain Kant menganut pemikiran yang memakai tese, antitesa dan sintesa.

                   Fungsi kategori – kategori ini adalah menggolongkan atau mengklasifikasi dan menyusun pengamatan hingga menjadi suatu gagasan yang teratur. ( contoh lihat Harun H. hal 69 – 70 ).

                   Ad c). Taraf rasio ( Vernunft ) atau ( buddhi ).
                    Kalau tugas akal (akalbudi) (Verstand)  adalah mengucapkan putusan, maka pada taraf berikutnya yaitu taraf Rasio, mempunyai tugas menarik kesimpulan dari putusan yang telah dibuat pada taraf akal (akalbudi) (Verstand).

                   Seperti akal (akalbudi) (Verstand) menggabungkan data inderawi dengan membuat putusan, maka rasio (Vernunft) pun bertugas menggabungkan putusan – putusan itu  sehingga tercipta kesimpulan ( pengertian umum atau pengertian mutlak yang tidak diberikan oleh pengalaman ). 
                 
                   Menurut Kant, dalam membuat kesimpulan (pengertian umum atau pengertian mutlak ) ini rasio (Vernunft) dipimpin oleh 3 (tiga) ide yang bersifat  apriori yaitu :
1.    Ide psikologis atau ide jiwa yaitu gagasan yang secara mutlak menjadi    lapisan bawah segala gejala batiniah.
2.    Ide dunia yaitu gagasan yang mendasari segala gejala lahiriah atau jasmaniah.
3.    Ide tentang Allah yaitu gagasan yang mendasari segala gejala lahiriah maupun batiniah .

Ketiga ide ini adalah memberi arah yang apriori bagi argumentasi kita tentang pengalaman, tetapi 3 (tiga) ide ini tidak termasuk pengalaman. Akal (akalbudi) (Verstand) mengatur gejala yang banyak dari pengalaman dengan menciptakan pengertian dan rasio (Vernunft ) bertugas mengatur akal (akalbudi) . Tugas rasio adalah menunjukkan kepada suatu cita – cita tentang kesatuan dan kesempurnaan yang harus diusahakan oleh akal (akalbudi) dalam mengatur dunia gejala.

Ketiga ide ini oleh Kant diyakini sebagai aturan – aturan atau postulat. Postulat adalah dalil teoritis yang pembuktiannya diluar jangkauan pembuktian teoritis . Dan Ketiga ide ini adalah gagasan dasar dari rasio kita.

Jadi menurut kant, rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan manusia. maka taraf  rasio murni bisa disebut juga taraf “rasio teoritis”.


Ad 2). Kritik atas Rasio Praktis.
Yang dimaksud Kant dengan Rasio Praktis adalah rasio yang mengatakan apa yang  harus kita lakukan, atau rasio yang memberikan perintah (imperatif) kepada kehendak kita, jadi dalam hal ini adalah bidang Etika.

Sebagaimana diketahui bahwa sebenarnya Perintah (imperatif) ini ada 2 macam yaitu :
a.    Imperatif  Hipotetis  adalah perintah yang mengemukakan suatu perbuatan    sebagai  alat untuk mencapai sesuatu.(Contoh : Jika kamu ingin pandai, maka kamu harus rajin belajar ).
b.    Imperatif Kategoris adalah perintah yang mutlak, tidak goyah, yang tidak mengenal “pertanyaan untuk apa “ , yang “harus” dilakukan. Perintah ini bersifat formal, tidak ada hubungan dengan perbuatan yang harus dicapai . 
 Dalam pembahasan Kritik atas Rasio Praktis ini yang dimaksudkan Kant   adalah adanya Imperatif Kategoris ( perintah yang mutlak ). Kehendak manusia dengan hukum adalah satu. Dalam perintah kategoris tidak ada unsur akali, yang ada hanyalah “keharusan” ( Sollen ). Ini merupakan inti segala persoalan etika.

Dalam “keharusan” ( Sollen ) atau wajib ini ada 3 (tiga) postulat yang harus diterima tetapi tidak untuk dibuktikan yaitu :
1.    Kebebasan Kehendak.
2.    Immortalitas Jiwa.
3.    Allah.
Menurut Kant, tentang 3 (tiga) postulat ini manusia tidak mempunyai pengetahuan teoritis. Jadi manusia harus menerima begitu saja ke- 3 (tiga) postulat tersebut, inilah yang disebut Glaube (kepercayaan).

Ad 3). Kritik atas Daya Pertimbangan.
 Dalam kritik atas Daya pertimbangan ini Kant membicarakan tentang persesuaian antara kritik atas rasio murni dan kritik atas rasio praktis. Dalam kenyataannya memang ada perbedaan pembahasan dari 2 (dua) kritik diatas.

Biar terjadi persesuaian dari 2 (dua) kritik diatas maka digunakan konsep finalitas ( tujuan ) . Finalitas ini menurut Kant ada 2 (dua) macam :
1.    Finalitas Subyektif  adalah manusia mengarahkan obyek pada dirinya sendiri, inilah yang disebut pengalaman keindahan (estetik) (bidang kesenian ).
2.    Finalitas Obyektif adalah apabila keselarasan satu sama lain dari alam (bidang  teleologis ).

Jadi dalam “Kritik der Ulteilskraft” ini dibicarakan kritik atas daya pertimbangan yang estetis dan kritik atas daya pertimbangan yang teleologis. 
             
















EMPIRISME THOMAS HOBBES DAN JHON LOCKE.

Pengertian Empirisme berasal dari kata “ empeiria “ yang berarti pengalaman inderawi. Sebagai aliran empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan dan pengenalan. Aliran ini tumbuh subur di Inggris abad 17 dengan tokoh antara lain : Thomas Hobbes dan Jhon Locke.

Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Tetapi bukan berarti mengabaikan peranan  rasio sama sekali. Dengan kata lain rasionalisme  dipergunakan dalam empirisme atau rasionalisme dilihat dalam rangka empirisme.

Sama seperti rasionalisme, maka empirisme Inggris inipun topik utama pembicaraan adalah masalah substansi.

II. THOMAS HOBBES.
Filsuf ini hidup ( 1588 – 1679) dan  mendapat pendidikan di Universitas Oxford. Karangan Hobbes yang terkenal adalah Leviathan,dalam buku inilah  pemahaman Hobbes tentang manusia dan negara dapat diketahui.

Beberapa hal pemikiran Hobbes yang perlu mendapat perhatian yaitu
1.    Konsep pengenalan atau pengetahuan .
2.    Pandangannya tentang dunia dan manusia yang mengarah ke materialisme .
3.    Konsep tentang negara.

Marilah kita tinjau satu - persatu point tersebut diatas :
Ad. 1 ). Menurut Thomas Hobbes, pengetahuan manusia diperoleh karena   adanya pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan , juga awal pengetahuan tentang azas-azas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman.
                           
Akal atau rasio hanya mempunyai fungsi mekanis semata, sebab akal hanya mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Hanya pengalamanlah yang memberi jaminan akan kepastian.

  Ad. 2 ). Ajaran Hobbes tentang dunia dan manusia ini dianggap sebagai pandangan  materialistis yang pertama dalam filsafat modern. Menurut Hobbes , dunia secara keseluruhan termasuk didalamnya juga manusia  merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa henti atas dasar hukum – hukum mekanisme.

  Ad. 3 ).   Inilah ajaran Hobbes yang paling terkenal yaitu ajarannya tentang negara. Ini termuat dalam bukunya Leviathan. Menurut Hobbes, tabiat semua manusia adalah sama yaitu ingin mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang lain , ini disebabkan karena naluri. Kemudian dikenal dengan istilah “Homo Homini Lupus”artinya manusia adalah serigala bagi manusia  yang lain.  

Akibatnya adalah manusia saling berperang antara orang dengan orang , manusia tidak mampu mempertahankan keberadaannya. Oleh karena itu manusia mengadakan suatu perjanjian bahwa mereka akan takluk pada suatu kewibawaan penguasa, secara otomatis negara akan timbul .

Perjanjian ini dibuat antar warga negara, bukan antara warga negara dengan penguasa. Dengan demikian yang terikat dalam perjanjian ini adalah antara warga negara dengan warga negara, bukan antara penguasa dengan warga negara. Sehingga sesama warga negara tidak mempunyai hak untuk memberontak dan perjanjian yang dibuat tidak dapat dicabut lagi. Sebaliknya negara sebagai penguasa mempunyai kekuasaan yang mutlak, absolut, dapat bertindak tanpa batas  terhadap setiap warga negara.

Persatuan antara warga negara (orang banyak yang dipersatukan) demikian inilah yang dinamakan : Commonwealt atau Leviatan artinya Allah yang telah mati .    

Syarat  utama bagi keberlangsungan commonwealt ini adalah adanya  perdamaian dalam kehidupannya dan bentuk negara  tergantung pada kesepakatan antara warga negara tersebut.



III. JOHN LOCKE.
Filsuf ini hidup 1632 – 1704, sebagai seorang empiris Locke dikenal sebagai pemikir yang menggabungkan antar teori empirisme dengan ajaran rasionalisme Descartes, tetapi menguntungkan pihak empirisme. Dengan kata lain, mengagumi metode Descartes tetapi menolak isi ajaran Descartes.

Yang paling terkenal dari pemikiran Locke ini adalah teori Tabula Rasa atau as a white paper atau kertas putih yang belum ditulisi atau kamar gelap tanpa bayangan – bayangan. Inilah yang membedakan antara Locke dengan Descates (bandingkan dengan teori Innata Ideas Descartes).  

Segala pengetahuan datang dari pengalaman , akal (rasio) adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan.Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri . Akal pada awalnya serupa dengan secarik kertas putih tanpa tulisan, yang hanya menerima segala sesuatu dari pengalaman.

John Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali. Tetapi John Locke mengatakan isi pengetahuan terdiri dari 2 (dua) pengalaman  yaitu :
1.    Pengalaman lahiriah ( sensation ).
2.    Pengalaman batiniah  ( reflexion )
                                 
Tugas pengalaman lahiriah adalah  mengajarkan kepada kita tentang hal – hal   diluar kita, sedangkan tugas pengalaman batiniah mengajarkan kepada kita tentang keadaan – keadaan  psikis kita. Kedua pengalaman ini bekerja jalin – menjalin, apa yang dihasilkan oleh pengalaman lahiriah harus ditanggapi oleh pengalaman  batiniah.

Kedua sumber pengalaman diatas menurut Locke menghasilkan idea – idea tunggal atau gagasan – gagasan tunggal atau idea – idea tunggal 
(simple ideas). Gagasan tunggal ini akan dipakai oleh roh manusia sebagai dasar bangunan untuk membentuk gagasan – gagasan majemuk atau disebut juga idea –idea majemuk  ( Complex Ideas ) .

Jika beberapa gagasan  tunggal atau idea tunggal menampilkan diri bersama-sama secara teratur , berdiri sendiri inilah yang disebut substansi. Di dunia luar memang ada substansi, tetapi kita hanya mengenal cirinya saja.

Dua gagasan tunggal yang ada kesesuaiannya atau tidak , dapat muncul dalam bentuk :
1.    Bentuk identitas atau perbedaan.
2.    Bentuk hubungan.
3.    Bentuk koeksistensi atau berada bersama – sama.
4.    Bentuk kenyataan.

Ajaran kesusilaan Locke  :
Menurut Locke ada 3 macam peraturan bagi kesusilaan yaitu :
1.    Perintah Allah yang harus ditaati oleh manusia, supaya manusia tidak berdosa.
2.    Undang – undang negara yang memuat aturan tentang perbuatan salah dan perbuatan yang tidak salah .
3.    Hukum yang menciptakan kebajikan dan bukan kebajikan , yang disetujui dan tidak disetujui.

Ajaran Negara Jhon Locke :
Berpangkal pada kondisi zaman alamiah karena menurut Locke Allah telah menciptakan semua ini bagi kepentingan semua orang, maka hak milik semua orang harus diakui keberadaannya. Tetapi keadaan ini diakui belum sempurna, karena masih ada orang yang tidak mematuhi hukum. Maka diperlukan adanya suatu pemerintahan, agar setiap warga negara tunduk kepada aturan hukum supaya kebelangsungan hidup, kemerdekaan dan hak milik tetap terpelihara.

Jhon Locke menolak bentuk pemerintahan yang absolut, maka kekuasaan itu harus dibagi :
1.    Kekuasaan Legislative.
2.    Kekuasaan Executive.
3.    Kekuasaan Federative

Ad1)    Kekuasaan Legislative adalah kekuasaan yang memberi  undang - undang  (sebutkan contohnya).
Ad2)  Kekuasaan Executive adalah kekuasaan yang melaksanakan pemerintahan.
Ad3)  Kekuasaan  Federative adalah kekuasaan yang menentukan perang dan damai .

Menurut Locke, negara tidak mempunyai hak untuk mengatur agama bagi warga negaranya dengan kata lain setiap warga negara bebas untuk memeluk agamanya. 

RASIONALISME RENE DESCARTES DAN BARUCH SPINOZA

Memasuki abad 17 pemikiran Renaissance mencapai penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran pada filsuf – filsuf besar.   Pada abad ini diyakini  bahwa sumber pengetahuan manusia adalah akal (rasio) dan pengalaman (empiri) . Pada kenyataannya manusia cenderung untuk memilih salah satu dari 2 (dua) hal tersebut, tidak mungkin mengakui kedua-duanya. Maka  muncullah 2 (dua) aliran besar yaitu  Rasionalisme dan Empirisme.

Rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan yang cukup dan dapat dipercaya adalah akal ( rasio ) . Pengetahuan yang diperoleh melalui akalah yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman bertugas meneguhkan pengetahuan yang diperoleh melalui akal, tetapi akal tidak memerlukan pengalaman.

II. RENE DESCARTES.
Filsuf yang termasuk dalam golongan Rasionalisme ini adalah RENE DESCARTES / CARTESIUS . ( 1596 – 1650 ) di Perancis. Hasil pemikiran Descartes yang sampai hari ini masih dapat kita nikmati adalah ordinat – ordinat  Cartesius ( Matematika ) .Descartes dikenal sebagai  “Bapak Filsafat Modern”.

Ada 2 ( dua ) buku yang terkenal dari Descartes :
1. Discours de la Methode   ( Uraian tentang metode ).
2. Meditationes de Prima Philosophia ( Meditasi – meditasi tentang filsafat pertama ).
Semua pemikirannya dalam bidang filsafat termuat dalam 2 ( dua ) buku tersebut.

METODE  “ MENYANGSIKAN “
Menurut Descartes, dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatupun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan, kecuali matematika atau ilmu pasti. Agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui, maka memerlukan metode yang baik  yaitu “menyangsikan” atau “meragukan” segala – galanya.  Tindakan “menyangsikan” atau “meragukan” ini harus dijalankan seradikal mungkin, sampai kepada pengetahuan kebenaran yang dianggap sudah pasti , misalnya : bahwa Allah ada .
 
Dengan “menyangsikan” atau “meragukan” ini, akan dicapai kebenaran  yang pasti dan ini harus dijadikan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan. Inilah yang disebut dengan  Cogito ergo sum artinya  “saya sedang menyangsikan atau meragukan , maka saya ada” atau “saya berpikir, maka saya ada” .

Kebenaran yang pasti ini harus bersifat “jelas” dan “terpilah”( Clearly and Distinctly ). Dengan kebenaran yang memenuhi norma clearly and distinctly, kita akan menemukan kebenaran yang ada dalam diri saya sendiri , oleh Descartes disebut : “3 ( tiga ) ide bawaan”
( innate ideas ), jadi ide ini sudah ada sejak kita lahir :
1.    Pemikiran ( cogitatio ) : saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka pemikiran ini      harus diterima sebagai hakekat .
2.    Allah sebagai wujud yang sempurna.
3.    Keluasan ( extentio ) : saya mengerti materi sebagai keluasan atau ekstensi, seperti dipelajari oleh ahli ilmu ukur.

KONSEP “ SUBSTANSI”
Substansi adalah  apa yang berada sedemikian rupa, sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. Menurut Descartes , (selain Allah) ada 2 ( dua ) substansi  :
1.    Jiwa  yang hakekatnya adalah pemikiran ( cogitatio ).
2.    Materi yang hakekatnya adalah keluasan ( Extenstio ).

KONSEP “ MANUSIA “ .
Pandangan Descartes tentang manusia dipengaruhi oleh pandangannya tentang substansi diatas, maka dalam hal inipun pandangan Descartes bersifat “dualisme” . Manusia menurut Descartes terdiri dari 2 ( dua ) substansi :

1.    Jiwa adalah pemikiran ( cogitatio ) .
2.    Tubuh adalah keluasan ( Extenstio ) . Tubuh adalah mesin yang dijalankan oleh jiwa .            
Menurut Descartes , kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam Glandula penealis ( dibawah otak kecil ) .

III. BARUCH SPINOZA.
Filosof  yang masuk dalam kelompok Rasionalisme selain Descartes adalah  Baruch Spinoza ( 1632 – 1677 ) lahir di Amsterdam . Ia berasal dari keluarga yang sangat mengutamakan kebebasan pemikiran, maka ia pun dikucilkan oleh kelompoknya (Yahudi ) .

Karangan yang terpenting  :  Ethica, ordine geometrico demonstrara  (etika yang dibuktikan dengan cara geometris), walaupun baru diterbitkan setelah Spinoza meninggal.

Pemikiran Spinoza antara lain: 
Masalah Substansi dan atribut dan Masalah Eksistensi Tuhan.

Menurut  Spinoza  hanya ada 1 (satu) substansi yaitu Tuhan yang esa, tiada batasnya secara mutlak. Tuhan meliputi dunia maupun manusia. Itulah sebabnya pandangan Spinoza ini dinamakan : Panteisme yaitu Tuhan disamakan dengan segala sesuatu yang ada. (Bandingkan dengan pandangan  Substansi Descartes).

Panteisme terdiri atas tiga kata, yaitu pan berarti seluruh, theo, berati Tuhan, dan ism (isme), berarti paham. Jadi, pantheism atau panteisme adalah paham bahwa seluruhnya Tuhan. Panteisme berpendapat bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam.

 Benda-benda yang dapat ditangkap dengan pancaindera adalah bagian dari Tuhan. Manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda mati adalah bagian dari Tuhan. Tuhan, dalam panteisme, ini sangat dekat dengan alam (imanen)

(Jika dibandingkan antara Descartes dengan Spinoza dalam pandangannya tentang  Tuhan , maka Descartes mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu yang mencipta dunia, sedangkan Spinoza mengatakan  Tuhan  adalah suatu kesatuan umum yang mengungkapkan diri dalam dunia ).

•    Asumsi Spinoza adalah segala sesuatu yang terbatas yaitu dunia dengan segala isinya, tidak dapat berdiri sendiri, melainkan tergantung kepada substansi yang satu itu.
•    Substansi yang satu ini berada di dalam segala sesuatu yang beraneka ragam ini. Segala yang beraneka ragam ini mewujudkan cara berada substansi yang satu itu.
•    Dapat dirumuskan bahwa Hakekat (essentia)nya mencakup juga keberadaannya (existentia) .    

Satu substansi itu mempunyai ciri – ciri yang tak terhingga jumlahnya dan setiap ciri mengekspresikan hakekat Allah seluruhnya. Hakekat Allah ditentukan oleh sifat – sifat asasi ( Harun,H. menyebutnya “atribut – atribut”)
yang tiada batasnya.

Sebaliknya manusia mempunyai keterbatasan , maka manusia tidak dapat mengenal semua sifat – sifat azasi . Manusia menurut Spinoza hanya dapat mengenal sifat azasi Allah 2 ( dua ) macam saja :
- Pemikiran (Cogito).
- Keluasan (Extensio).

Dari pandangan diatas itulah akhirnya pandangan Spinoza tentang manusia diturunkan, bahwa pemikiran ( jiwa )  dan keluasan ( tubuh )  diatas secara bersama – sama ada pada manusia . Jiwa dan tubuh  merupakan 2 ( dua ) aspek yang menyangkut substansi yang sama .


Daftar Pustaka :
1.    Brouwer,M A W, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, Alumni, Bandung.
2.    Bertens, K, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
3.    Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta


 

Filsafat Islam Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger